
Saat memasuki kota ini di minggu ketiga November 2012, rakyat Cambodia masih dalam suasana duka atas wafatnya mantan Raja Cambodia Norodom Sihanouk di Beijing Oktober lalu. Ini adalah kedatangan pertama saya ke Phnom Penh, sehingga begitu check-in hotel saya tak sabar untuk segera keluar jalan-jalan. Saya memilih hotel sangat dekat dengan Royal Palace, hanya sepelemparan tumbak. Di bawah guyuran gerimis sayapun segera berjalan kaki menuju ke Royal Palace. Foto besar mendiang Raja Sihanouk dipajang di bagian depan Royal Palace. Masih dibawah guyuran hujan tampak beberapa orang lokal antri untuk mendoakan sang Raja dari bagian depan istana. Mereka membawa bunga dan perlengkapan doa lainnya dan antri di bawah penjagaan staf keamanan. Royal Palace masih ditutup untuk umum kala itu. Jadi saya hanya bisa melihat dan ambil gambar dari alon-alon kota yang berada persis di depan istana. Royal Palace sendiri tampak indah di malam hari dengan lampu-lampu yang dipasang di sekujur istana. Tak jauh di Royal Palace juga terdapat Silver Pagoda sama-sama dihiasi lampu. Cambodia memang memiliki sejarah panjang. Abad 1 sampai dengan abad 8 disebut sebagai Pre Angkor Era. Abad 9 hingga Abad 15 dikenal sebagai Angkor Era dimana peninggalannya masih bisa di lihat dari begitu banyaknya candi-candi di Siem Reap. Middle era dimulai setelah Angkor Era berakhir hingga Abad 19. Penjajahan Perancis dimulai tahun 1863 hingga kemerdekaan di tahun 1953. Selepas merdeka merupakan era Kingdom of Cambodia hingga 1970. 5 tahun kemudian hingga 1975 berubah menjadi Khmer Republic. Tidak berumur lama, sesudahnya sejarah mencatat negara ini berubah menjadi Democratic Kampuchea hingga 1979. Di era Democratic Kampuchea inilah terjadi tragedi kemanusian yang menewaskan jutaan rakyat, yang dikenal dengan Pol Pot sebagai pemimpin rezimnya. Setelah rejim Pol Pot tumbang, negeri kembali berubah menjadi People’s Republic of Kampuchea hingga 1989. Sejarah kembali mencatat negeri ini berubah menjadi State of Cambodia hingga 1993. Dan terakhir kembali menjadi Kingdom of Cambodia hingga saat ini. Perang saudara mewarnai Cambodia hingga negeri ini masih tercatat sebagai negara miskin dengan pendapatan percapita hanya mencapai 895$ di tahun 2011 lalu.
Gambar di samping diambil di Tuol Sleng Genocide Museum. Tempat ini dulunya bernama Sekolah Tinggi Chao Ponhea Yat. Terdiri lima bangunan. Pada bulan Agustus 1975 empat bulan setelah Khmer Merah (Khmer Rouge) memenangi perang saudara, kompleks inipun dikonversi menjadi penjara dan pusat interogasi. Khmer Merah mengganti nama tempat ini “Security Prison 21” atau dikenal dengan S-21. Bangunan pun mulai disesuaikan sebagai penjara untuk narapidana. Bangunan yang tertutup dalam kawat berlistrik berduri, ruang kelas diubah menjadi penjara kecil dan ruang-ruang penyiksaan, dan semua jendela ditutupi dengan jeruji besi dan kawat berduri untuk mencegah penyebarannya. Dalam rentang tahun 1975 sampai 1979 diperkirakan 17.000 orang ditahan di Tuol Sleng, meskipun jumlah sebenarnya tidak diketahui. Pada satu waktu, penjara diisi antara 1,000-1,500 tahanan. Mereka berulang kali disiksa dan dipaksa untuk menyebutkan anggota keluarga dan rekan dekat, yang pada gilirannya ditangkap, disiksa dan dibunuh. Pada bulan-bulan awal eksistensi S-21, sebagian besar korban berasal dari rezim sebelumnya Lon Nol dan termasuk tentara pejabat pemerintah, serta akademisi, dokter, guru, mahasiswa, pekerja pabrik, biarawan, insinyur, dll. Kemudian, paranoia pimpinan partai dihidupkan jajaran sendiri dan pembersihan seluruh negeri melihat ribuan aktivis partai dan keluarga mereka dibawa ke Tuol Sleng dan dibunuh. Mereka yang ditangkap termasuk beberapa politisi tertinggi komunis peringkat seperti Khoy Thoun, vorn Vet dan hu Nim. Meskipun alasan resmi penangkapan mereka adalah “spionase”, orang-orang ini mungkin telah dilihat oleh Pot pemimpin Khmer Merah Pol sebagai pemimpin potensial dari kudeta terhadap dirinya. Keluarga tahanan sering dibawa secara massal untuk diinterogasi dan kemudian dieksekusi di pusat pemusnahan Ek Choeung. Berbagai alat penyiksaan korban ditampilkan di museum ini, begitu juga ada visual cara-cara penyiksaan yangs sangat keji. Museum ini terdiri dari beberapa blok bangunan tiga lantai. Masing-masing blok digunakan untuk kepentingan yang berbeda. Foto-foto korban kekejaman Pol Pot ditampilkan di museum ini mulai dari anak kecil hingga orang dewasa. Semuanya mengenaskan.
Setelah dari Tuol Sleng perjalanan selanjutnya mengunjungi Choeung Ek dan menjadi sangat terkenal setelah munculnya film ‘The Killing Field’ pada tahun 1984. Di tempat inilah sejumlah besar orang tewas dan dikubur oleh rezim Khmer Merah, selama pemerintahannya negara 1975-1979. Analisis 20.000 situs makam massal oleh Program Pemetaan DC-Cam dan Universitas Yale mengindikasikan setidaknya 1.386.734 korban. Perkiraan jumlah kematian akibat kebijakan Khmer Merah, termasuk penyakit dan kelaparan, berkisar dari 1,7 sampai 2,5 juta dari penduduk sekitar 8 juta. Pada tahun 1979, komunis Vietnam menginvasi Demokratis Kampuchea dan menggulingkan rezim Khmer Merah. Choeung Ek ini dulunya adalah pekuburan China, dan masih ada sisa-sisa di kompleks ini.
Untuk masuk Choeung Ek pengunjung asing dikenakan tiket masuk 5 dollar Amerika. Pengunjung dilengkapi dengan perangkat audio yang menjelaskan cerita seputar kompleks. Ada beberapa pilihan bahasa, tapi belum ada Bahasa Indonesia. Pengunjung tinggal menekan tombol sesuai tanda lokasi untuk mendengarkan cerita dibalik lokasinya. Foto disamping diambil di bagian depan komplek ini. Bangunan di belakangnya digunakan sebagai monumen yang berisi peninggalan para korban, seperti tengkorak, pakaian-pakaian korban. Pengunjung diperbolehkan memasuki monumen ini dengan melepas alas kaki.
Sebenarnya ada beberapa tempat wisata lain Shooting Range yang berjarak 25km. Tempat-tempat itu bisa dijangkau dengan menyewa Tuk-tuk atau mengikuti paket tour yang cukup murah. Paket setengah hari Tuol Sleng & Killing Field dibanderol 6$ dengan minivan (belum termasuk tiket) atau jika ditambah Shooting Range bisa dibeli seharga 10$. Paket-paket itu sudah termasuk antar jemput ke hotel. Ada juga cruise menyusuri Sungai Mekong dengan kapal pesiar kecil, sepertinya layak sebagai alternatif.
Sejarah kemanusian era Democratic Kampuchea ini termasuk yang paling diminati oleh pelancong yang mengunjungi Phnom Penh di luar Royale Palace, Silver Pagoda dan Wat Phnom yang berada di pusat kota. Apakah Phnom Penh hanya memiliki itu saja? Seiring makin banyaknya turis datang, kehidupan modern sudah mengubah wajah Phnom Penh ini. Cafe-cafe modern mulai bertebaran di sisi sungai Mekong yang sekaligus sebagai pusat hiburan malam di kota ini. Pijat & spa juga bermunculan. merk-merk asing mulai banyak masuk ke Cambodia ini. Gedung-gedung bertingkat (meskipun tidak terlalu jangkung) mulai dibangun. Tidak seperti di Jakarta yang banyak ditumbuhi shopping mall modern, keberadaan pusat belanja modern ini masing jarang ditemui. Oh ya, sedikit mengherankan adalah mobil-mobil mewah berseliweran di kota yang konon masih termasuk negara berpenghasilan rendah ini.
Secara keseluruhan saya puas dengan perjalanan kali ini, dan tentu saja merekomendasikan untuk datang ke Cambodia.
ternyata rezim khmer merah itu demokcratic yh…saya kira komunis…???