Hanya sedikit orang Indonesia mengenal Nembrala Beach. Tapi bagi penggemar surfing, Nembrala bisa jadi impian mereka dan menjadikannya surga surfing selain Kuta, Nias dan Plengkung. Pantai ini berada di sisi barat bagian selatan pulau Rote. Berpasir putih sangat lembut dengan batu-batu karang halus, pasir ini yang membedakan dengan Kuta. Ombak terbaik di Nembrala terletak di Boa tapi para surfer lebih suka tinggal di Nembrala karena ketiadaan penginapan di Boa.
Sejujurnya, Nembrala tidak tampak sebagai tujuan turis yang tercantum di Lonely Planet. Bahkan masih mirip perkampungan tradisional yang kebetulan memiliki pantai bagus. Masyarakat hidup seperti apa adanya, belum menggantungkannya dari turis yang datang. Mereka masih memiliki ladang, kebun dan memelihara ternak. Secara umum rumah-rumah mereka masih sangat sederhana. Tidak semua jalanan beraspal dan memiliki penerangan. Kehidupan masih sangat alami. Satu-satunya sentuhan modern hanyalah telepon seluler yang banyak dimiliki penduduk. Tidak seperti pantai-pantai populer lainnya yang juga banyak dikunjungi pelancong lokal, di Nembrala hanya tampak beberapa orang asing, dan tentu saja tambahan saya. Pantainya sangat sepi dan ini yang menjadikan betapa tenang dan damai dapat diperoleh disini. Keingin-tahuan saya akhirnya mengantarkan ke Nembrala Beach.
Tidak seperti Kuta yang dapat dijangkau beberapa menit begitu mendarat di bandara Ngurah Rai, Nembrala lokasinya terpencil dan agak sulit dijangkau. Secara administratif, Nembrala termasuk kecamatan Rote Barat kabupaten Rote Ndao dan terletak di pulau Rote. Karena terpisah dari pulau Timor sehingga pelancong harus menyeberang dari Kupang dimana bandara El Tari berada. Tenau Harbour dan Bolok adalah pelabuhan untuk menyeberang ke Baa (ibukota kabupaten Rote Ndao) di pulau Rote ini. Kapal cepat berangkat dari Tenau sedangkan ferry yang lebih lambat sandar di Bolok. Dengan menggunakan ferry cepat saya berangkat dari Tenau menuju Baa. Ada 2 jadwal perjalanan ferry cepat dari Tenau ini, yakni Express Bahari dan Citra Jet. Ada 2 kelas disediakan yakni VIP (Rp.135.000) dan ekonomi (Rp. 105.000) dengan lama tempuh sekitar 2 jam. Dengan menumpang Express Bahari saya menyeberang ke Baa pulau Rote.
Sesampai di Baa, perjalanan harus disambung dengan jalan darat. Untuk menuju Nembrala saya menggunakan minibus umum yang disebut bemo (semacam angkot seperti gambar di samping). Jalan Baa-Nembrala sebenarnya sudah cukup bagus. Perjalanan cukup lancar ini karena kendati jalannya sempit tapi sudah beraspal. Memang pada beberapa bagian, sebelum masuk kecamatan Rote Barat, beberapa bagian aspalnya mengelupas sehingga menghambat laju kendaraan. Hambatan ini terobati dengan pemandangan kiri-kanan jalan yang menawarkan kesan begitu berbeda. Diantara dentuman musik keras-keras saya bisa menikmati hamparan padang rumput dengan ternak sapi atau kambingnya yang dibiarkan begitu saja. Terbayang bagaimana penduduk lokal hidup di alam yang tidak cukup subur itu. Sesekali saya melihat perempuan mengangkut barang dengan pikulan, yang tidak begitu lazim di Indonesia. Satu kali perjalanan dikutip biaya Rp. 20.000 tapi untuk pelancong biasanya mereka meminta Rp. 25.000. Meskipun angkot mereka bersedia mengantarkan Anda hingga penginapan bahkan menjemput untuk kembali. Disamping kebiasaan memutar musik keras-keras, badan mobil dipasang gambar aneka rupa. Apa saja istilah populer bisa nempel di angkot-angkot itu. Hanya perlu tersenyum setelah membacanya.
Saya mendapatkan kamar di penginapan Tirosa, yakni mirip quest house dengan beberapa bangunan beratap seng. Masing-masing bangunan ini terdiri 2 hingga 3 kamar. Penginapan yang saya pilih berbatasan langsung dengan pantai dan berada ditengah-tengah kebun kelapa. Bangunannya sederhana begitu juga kamarnya. Tidak ada televisi di kamar, tidak ada shower untuk mandi hanya bak mandi, tidak berpendingin udara. Kasurnya hanya kasur busa dengan sprei sederhana tapi bersih. Satu hal yang menarik buat saya adalah hammock (ayunan) yang dipasang di beranda kamar, istirahat di ayunan dalam semilir angin pantai akhirnya membuat saya terkantuk juga. Saat saya menginap di Tirosa, hanya saya yang berasal dari Indonesia, sisanya adalah turis asing dari berbagai negara. Seperti kebanyakan tempat menginap di Nembrala, Tirosa juga menyajikan makan 3x sehari. Ini bisa dimaklumi sebab hanya sedikit tempat makan di sini. Sajian makanan juga terbilang sangat sederhana, seperti makanan rumah biasa. Kami biasanya makan bersama-sama dalam 2 meja besar yang disediakan. Saat itulah tamu penginapan bisa ngobrol satu sama lain.
Penduduk Nembrala (dan NTT pada umumnya) biasanya memiliki ternak piaraan. Ternak-ternak ini tidak dikandangkan tetapi dilepas begitu saja di pekarangan rumah. Biasanya mereka memagari rumah dengan tumpukan batu-batu karang yang disusun seperti tembok pendek. Kambing, ayam, babi berkeliaran sudah menjadi pemandangan biasa di sini. Pemandangan serupa dapat dijumpai di sepanjang perjalanan Baa ke Nembrala dimana banyak sapi berkeliaran di padang-padang rumput luas. Ternak itulah menjadi salah satu mata pencaharian penduduk lokal.
Saat malam tiba, itulah saatnya kami bisa menikmati listrik yang hanya menyala sejak jam 6 sore hingga pagi hari. Tidak ada hiburan malam sentuhan modern disini. Tidak ada disko, night club atau sejenisnya. Yang terlihat hanya satu rumah makan yang menyajikan hiburan TV satelit yang saat itu memutar siaran langsung sepak bola. Tamu-tamu biasanya menghabiskan malam dengan membaca di beranda kamar atau sesekali ngobrol di ruang makan. Karena ketiadaan hiburan itu, akhirnya saya menghabiskan malam dengan menonton pertandingan volley antar kampung yang diselenggarakan di lapangan volley sebelah gereja. Penduduk, khususnya muda-mudinya, sangat antusias memadati lapangan, mungkin ini hiburan satu-satunya bagi mereka.
| Tirosa bertetangga dengan rumah penduduk, dan itu menjadikan saya merasa sangat dekat dengan kehidupan mereka. Saat malam datang, sesekali saya dengar suara hewan piaraan mereka berpadu dengan suara deburan ombak dari pantai, melengkapi ketenangan dan kedamaian yang membungkus Nembrala malam itu |
Pantainya mengingatkan saya pada pantai pasir putih di tanjung karang donggala beberapa tahun yang lalu…saat ini sudah banyak bungalow yang mengurangi keindahan dan keasrian….
Mas Gatot, Terima kasih sudah mampir. jadi ingat Donggala, terakhir ke sana tahun 1992, long-long time ago.
saya suka pantai nebrala…saya perna sekali ke sana…penduudk nya pun rama2…
Salam kenal. Beberapa tahun lalu saya sempat tinggal di Tirosa dan menjadi kenal baik dengan keluarga Kai yang mengelola Tirosa. Sayangnya sudah tidak ada kontaknya. Apakah punya nomer atau alamat Hotel Tirosa? Terima kasih.
Hi Inggar, waktu itu saya langsung diantar oleh sopir angkutan, gak simpan nomor teleponnya. Coba googling, kali-kali dapat infonya…
beautiful beach
. . . . . .
Nembrala kampung ane nih.. Cman syang skrg sya udh jauh dri kampung halaman.. Kangen..
Fransiska, mertua Anda benar adanya, pantainya indah-indah. Saat itu saya hanya punya 4 hari saja. Suatu saat saya masih ingin datang lagi, khususnya ke Alor. Btw, untuk menyiasati cuti dikit perginya gabungkan dengan long week-end atau hari libur kecepit, bisa lebih panjang di sana dengan cuti gak banyak.
mertua saya bilang daerah NTT itu pantainya indah2..saya belum mau ke sana, berhubung klo ke sana saya pasti tdk sempat menyambangi pantai2 itu…yang ada waktunya habis bertandang ke keluarga ini itu dan lain-lain…:).bukannya apa2, ngatur cuti yang cuma 8 hari setahun ini susah kan…padahal saya suka pantai dan pengin ke NTT liahat pantai2 di sana..