
Akhir pekan lalu saya mengunjungi Lasem, kota kecamatan di kabupaten Rembang. Sebenarnya ini mimpi lama yang baru kesampaian. Akulturasi budaya antara Jawa & Tionghoa di Lasem yang menggiring saya begitu ingin mengunjunginya. Di sini, bangunan-bangunan tua dengan arsitektur campuran, dominan China, masih banyak dijumpai. Biar lebih paripurna, saya memutuskan untuk tinggal di penginapan dengan bangunan kuno. Namanya Roemah Oei, yang terletak di Jalan Eyang Sambu (Jatirogo) No 10.Roemah Oei sebenarnya rumah keluarga yang dibangun tahun 1818, tepat 200 tahun umurnya. Sekarang rumah tua ini beralih fungsi menjadi museum, cafe, dan penginapan. Mereka menamai Wisma Pamilie untuk penginapannya. Menyematkan tag line sebagai Penginapan Tempo Doeloe, menjadikan penginapan ini begitu unik dan beda.

Bangunan induk Roemah Oei berupa berupa rumah tinggal di bagian depan, dinamai Omah Gedhe. Tambahan bangunan baru terdapat di bagian belakang dan disiapkan untuk penginapan yang dinamai Wisma Pamilie. Bangunan ini benar-benar baru tapi arsiteknya diselaraskan dengan Omah Gedhe. Di antara 2 bangunan itu terdapat Plataran Ramayana, semacam tempat umum untuk berbagai acara kecil. Beruntung, saya mendapatkan satu-satunya kamar yang disewakan di Omah Gedhe. Kamar yang saya tempati ini benar-benar beda dengan hotel-hotel tua lain yang pernah saya tinggali seperti Hotel Kresna Wonosoco, Majapahit Surabaya ataupun Phoenix Jogja.
Sekarang kita intip dulu kamar saya di Omah Gedhe. Kamar ini berdinding sangat tebal ya, khas bangunan jaman dulu. Saat saya membuka pintu kamar, saya takjub dengan model pintunya yang terbuat dari kayu tebal setangkap (2 daun pintu). Keduanya disatukan dengan pengait logam. Gembok disediakan jika ingin mengunci kamar dari luar. Senada dengan pintu, kamar ini memiliki 2 jendela kayu besar. Keduanya menggunakan model lama, setangkap juga. Jendela belakang terdiri 2 lapis jendela dan sudahmenggunakan gerendel untuk menutupnya, sementara jendela samping menggunakan pengait dari besi.
Bagaimana dengan tempat tidurnya? Ada 2 dipan besi model tua dengan ukuran lebih besar dibandingkan ukuran single bed kebanyakan. Kasur memakai kasur kapuk randu dan dilapis sprei warna coklat pucat, lembut dan dingin. Sementara selimut tidak menggunakan quilt seperti hotel-hotel modern, tetapi menggantinya dengan selembar kain tenun tebal. Handuknya merupakan hasil tenunan tradisional (ATBM). Ada 3 meja kuno di kamar ini, ditambah dengan kursi tua besi juga. Kesan kuno semakin kuat dengan adanya ubin lantai yang masih mempertahankan ubin lama dari tanah tembikar (mirip terakota). Oh ya, kamar saya ini tidak dilengkapi kamar mandi di dalam, tetapi disediakan kamar mandi khusus di luar pada bangunan baru.
Wisma Pamilie. Sekarang kita jelajahi kamar di bangunan baru. Saya berkesempatan bertemu dengan pemilik tempat ini, yakni generasi ketujuh dari pemilik pertama rumah ini, Tuan Oei Am. Kendati bangunan baru, tapi bangunan dibuat dengan filosofi kuat. Pemilik mengajak tamu untuk sejenak menyelami bagaimana suasana berkehidupan tempo dulu, terutama bagaimana menjadikan tempat tidur untuk saling dekat dengan keluarga.
Kamar tidur. Ada sekitar 15 kamar pada bangunan 2 lantai ini. Masing-masing kamar dipercantik dengan kata-kata bijak untuk kembali mengingatkan hakikat hidup. Masing-masing kamar juga didesain berbeda dan dengan filosofi masing-masing pula. Ada kamar yang menempatkan 1 ranjang besar, dan 2 ranjang kecil dalam kamar yang sama. Ini mengingatkan dimana jaman dulu orang tua dan anak-anaknya biasa tinggal dalam 1 kamar yang sama. Ada juga kamar dengan ranjang sangat besar yang dapat digunakan 4 orang, orang tua dan 2 anak. Satu lagi yang menarik di kamar Pamilie adalah lantainya yang terbuat dari plesteran semen, bukan keramik atau karpet. Lantai semen ini disamping membuat kesan tempo dulu, juga menjadikan lantai lebih adem.
Kasur. Hampir semua hotel berbintang yang menyiapkan kasur pegas di kamar. Tapi tahukah Anda, sebelum kasur pegas banyak digunakan, kasur busa atau kasur kapuk randu yang digunakan keluarga Indonesia. Tidak seperti di Omah Gedhe yang menggunakan kasur kapuk, kasur busa digunakan di Wisma Pamilie ini.

Sabun dan amenities. Masih ingatkah dulu orang mandi menggunakan batu untuk menggosok badan. Tapi tak usah kuatir, hotel ini tetap menyediakan sabun. Oh ya, dalam satu kamar tidak akan disediakan handuk dalam warna yang sama. Menurut penuturan pemiliknya, hal ini memang sengaja agar tidak tertukar. Handuk yang digunakan tetap buatan tenun tradisional.
Kamar Mandi. Kendati bangunan baru, kamar ini tetap mendapatkan sentuhan natural. Disamping shower, tamu dapat menikmati sensasi mandi jaman dulu dengan menggunakan gayung dari gentong dari teraso yang dibuat khusus. Byur…byur…
Tanpa TV. Jaman dulu TV bisa jadi barang mewah & langka. Satu rumah biasanya hanya ada 1 TV yang ditempatkan di ruang tamu atau ruang keluarga. Menginap di sini berarti kita kembali menikmati suasan tidur jaman dulu, tanpa TV di kamar. Sebagai pengganti, ada radio dengan model lama di kamar. Persis jaman dulu kan? Mengenalkan ritual tidur jaman dulu kepada anak-anak generasi now akan membantu pengayaan wawasan mereka dan memupuk komunikasi lebih intim dengan orang tua atau kakak/adik.
Sarapan. Sesuai dengan konsepnya, sarapan disajikan satu makanan, seperti halnya orang-orang jaman dulu sarapan. Saat itu sarapan berupa Soto Kemiri ditambah dengan teh manis. Saya sarankan menu sarapan ditambahkan buah potong atau pisang.
Taman Brayat Minulya & Plataran Ramayana. Kedua tempat ini disediakan bukan tanpa maksud filosofis. Taman Brayat Minulya disiapkan untuk menikmati keheningan bersama keluarga atau teman, cocok untuk merenung dan juga menenangkan diri. Pohon mangga besar menjadikan tempat ini lebih hommy. Sementara di Plataran Ramayana tamu dan komunitas dari luar dapat menampilkan seni di panggung kecil ini. Bahkan sesekali digunakan untuk pengajian juga.
Fasilitas lain. Roemah Oei sebenarnya lebih tepat disebut kawasan bersosial dengan beragam aktifitas. Karenanya, di sini ada Pasar Ayodya yang menyediakan makanan-makanan lokal termasuk Lontong Tuyuhan khas Lasem. Kopi Lelet juga dijual di sini termasuk kudapan tradisional. Oh ya harga makanan di Pasar Ayodya sangat terjangkau ya. Kopi lelet dan kweatiauw goreng mantab lho.

Museum. Roemah Oei telah melewati sejarah panjang. Bagaimana tidak, sejak tahun 1818 telah ada 8 generasi hingga kini. Kecuali 1 kamar tidur, semua ruangan di Omah Gedhe diperuntukkan sebagai museum dan toko cendera mata. Barang-barang peninggalan keluarga Oei disimpan di sini. Pengunjung tidak perlu bayar untuk melihat semua koleksi, hanya perlu dibantu untuk ikut menjaganya.
Service keseluruhan 8,3/10 :
- Harga Kamar : 7/10
- Harga Makanan : 9/10
- Lokasi : 9/10
- Kebersihan kamar : 8.5/10
- Kebersihan luar : 8.5/10
- Resepsionis 8/10
- Fasilitas 7.5/10
- Keramahan : 9/10
Tips & trik menginap :
- Tamu keluarga dengan anak kecil disarankan untuk menginap di Wisma Pamilie. Konsultasikan ke pengelola terlebih dulu atas minat dan harapan menginap.
- Jika menginap dengan anak-anak sebaiknya jelaskan dulu konsep hotel ini, dan mengapa memilih menginap di sini.
- Roemah Oei sedikit terbuka, jadi tetap berhati-hati dengan barang-barang Anda.
- Bergaullah di sini, karyawan Roemah Oei sangat terbuka dan enteng membantu Anda.
Saya terkesan menginap semalam di sini, kendati hanya semalam. Saya yakin pemilik hotel menyiapkan Roemah Oei bukan mengejar komersial, tetapi lebih pada keinginan untuk ikut memelihara budaya dan mendorong wisata Lasem. Menginap di sini berarti bukan sekedar istirahat, tamu diharapkan membawa pulang kesan mendalam yang mengendap menjadi memori yang tak terlupakan.
Rekomendasi artikel terkait : Menelusuri jejak akulturasi budaya di Lasem