Awal Oktober lalu, dalam perjalanan pulang kampung saya menyempatkan menginap semalam di Jogja untuk sekedar ingin menikmati & merindukan Jogja. Hotel yang yang biasanya saya gunakan untuk menginap ternyata dalam posisi penuh, sehingga perlu mencari hotel lain. Nah, lewat online travel saya mencari hotel yang sesuai dengan selera & budget, dan rata-rata hotel di lokasi-lokasi populer tinggal menyisakan beberapa kamar saja. Hotel-hotel di sekitar Malioboro, Jl Jend Sudirman, Kali Urang dan arah bandara ternyata cukup diminati tamu. Akhirnya saya mendapatkan hotel di Jl. Sudirman deket dengan Tugu Jogja dengan tarif diskon setara $75 plus sarapan untuk berdua. Masih teringat, lima tahun lalu kamar yang sama bisa diperoleh dengan hanya $45 saja.

Ya, 5 tahun lalu rata-rata tarif kamar di hotel masih di bawah Bali, Jakarta, Bandung, bahkan rata-rata tarifnya masih sedikit di bawah Surabaya. Tapi jaman telah berganti, tarif-tarif hotel di Jogja sudah mirip-mirip dengan tarif Bali dan Bandung. Rata-rata tarif hotel di Surabaya kini menjadi di bawah Jogja apalagi tarif akhir pekan. Bahkan pengalaman saya mengatakan mencari hotel di Bali lebih mudah dibandingkan di Jogja. Ini karena Bali menawarkan hotel dalam jumlah sangat banyak dan lokasi wisata tersebar sehingga tamu tidak terkonsentrasi hanya di lokasi-lokasi populer saja.

Cukup tingginya tarif kamar di Jogja bisa menjadi sebuah sinyal bahwa hotel-hotel itu memiliki tingkat hunian (occupancy rate) cukup tinggi. Pasokan hotel baru terus bertambah, diantaranya beroperasinya Amaris & Whiz, dan 3 hotel dalam masa pembangunan. Bandara Adi Sucipto kini sudah didarati pesawat dari luar negeri secara langsung dari Singapore dan Kuala Lumpur sehingga permintaan kamar cenderung meningkat. Meningginya tarif hotel menjadi sinyal lain bahwa bisnis hotel di Jogja tetap berprospek bagus. Ayo siapa yang mau bangun hotel di Jogja?