Sebelum krisis moneter 1998, Tana Toraja sempat menjadi salah satu destinasi wisata utama Indonesia setelah Bali. Di saat Bali sudah pulih dari krisis bahkan dari serangan bom, Tana Toraja masih belum menunjukkan tanda-tanda kebangkitannya. Banyak hotel tampak terbengkalai namun masih setia menunggu kedatangan para wisatawan. Tingkat hunianpun kini belum beranjak dari kisaran 30%. Kendati masih redup, Tana Toraja tetap memiliki daya tarik untuk dikunjungi. Salah satu yang kesohor adalah Wisata Kematian. Dan inilah yang mungkin pertama kali terlintas dalam benak wisatawan ketika mendengar nama Tana Toraja. Upacara kematian menjadi hal yang sangat sakral dibandingkan dengan kelahiran itu sendiri. Upacara kematian dapat dilakukan hingga berminggu-minggu, semakin kaya dan berkuasa seseorang yang meninggal, maka upacara pemakamannya pun semakin mahal. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya kerbau dan babi yang disembelih untuk dibagi-bagikan kepada masayarakat. Sebagian orang bisa berkata “aneh, orang meninggal malah orang dapat berpesta untuk menikmati daging.” Namun itulah keunikan Toraja yang menarik wisatawan mancanegara untuk datang. Dan inilah kisahnya…
Seperti dituturkan sebelumnya, upacara kematian memiliki rangkaian yang panjang bagi masyarakat Tana Toraja. Upacara biasanya terdiri dari beberapa tahapan yang dimulai dengan pengarakan jenazah mengelilingi kampung, dilanjutkan dengan pengangkatannya ke sebuah pendopo, penghormatan keluarga yang meninggal di pendopo, hingga adu kerbau dan penerimaan tamu. Suku Toraja percaya, bahwa kematian bukanlah suatu proses yang cepat, namun berangsur angsur untuk menuju puya (surga). Kerbau dipercaya adalah hewan yang dapat mengantarkan mereka menuju Puya, sehingga semakin banyak kerbau yang disembelih, maka akan semakin cepat kesempatan mereka untuk menuju Puya. Tidak hanya berhenti di sana, setelah beberapa hari/minggu/bulan/bahkan tahun jenazah akan dilanjutkan dengan proses penguburan. Penggunaan kerbau untuk setiap upcaya menyebabkan kerbau lokal tidak mencukupi kebutuhan upacara dan untuk memenuhinya perlu didatangkan dari Pulau Jawa.
Terdapat beberapa jenis tempat penguburan. Pertama adalah makam batu berukir, untuk membuat makam ini dibutuhkan biaya yang sangat mahal dan waktu yang lama. Kedua adalah makam gantung, dimana peti mati dan jenazah digantung di sisi tebing, hal ini menunjukkan riwayat jenazah sebagai orang kaya / bangsawan, dimana semasa hidupnya tidak pernah berjalan di atas tanah, karena selalu ditandu, sehingga makamnya pun dibuat menggantung. Yang ketiga dapat disimpan dalam gua dengan tetap menjaga mayat tersebut dalam gelap. Dan yang terakhir rumah tanpa asap, biasanya terdapat beberapa jenazah dalam ruah tersebut. Khusus untuk bayi yang belum tumbuh giginya, maka jenazah akan dikubur di dalam sebatang pohon. Untuk menghormati orang yang sudah meninggal, maka dibuatlah Tau-tau (boneka yang menyerupai jenazah terbuat dari kayu) yang diletakkan di dekat makam.
Penyelenggarakan prosesi kematian ini membutuhkan biaya hingga milyaran rupiah, masyarakat Toraja percaya, bahwa jenazah tidak akan sampai ke Puya, jika tidak melalui prosesi upacara pemakaman seperti ini, sehingga tidak sedikit jenazah yang hingga saat ini masih menunggu untuk diupacarakan, dikarenakan belum adanya biaya untuk upacara yang dimiliki oleh keluarga yang ditinggalkan. Dikabarkan di salah satu desa di Toraja Utara masih ada jenazah yang hingga sepuluh tahun masih menunggu untuk upacara kematian.
Belum bangkitnya industri wisata Toraja ditengarai lebih banyak disebabkan ketiadaan akses memadai menuju kesana. Dulu, Merpati Airline membuka layanan Makassar-Tana Toraja dan menutupnya karena menurunnya jumlah penumpang. Kini setelah tiada penghubung jalur udara, jalan darat menjadi satu-satunya untuk menjangkau Tana Toraja. Keadaan diperparah dengan tidak memadainya jalan darat terutama dari Makassar ke Pare-Pare. Wisatawan harus berpikir dua kali untuk dapat menikmati wisata budaya Tana Toraja. Pemangku kepentingan industri wisata Tana Toraja harus bersatu-padu mengatasi ketiadaan akses ini. Pembangunan infrastruktur perlu mendapatkan prioritas. Jalur udara dengan pola subsidi bisa dijajaki agar airline mau kembali membuka rute ini. Masih tidurnya industri pariwisata Tana Toraja akan berpengaruh pada kehidupan perekonomian Tana Toraja. Selain bertani dan beternak masyarakat juga menggantungkan ekonominya pada wisatawan yang datang. Toko souvenir, hotel dan rumah makan sangat menggantungkan bisnisnya pada turis yang membelanjakan uangnya di Tana Toraja.
Wisata Tana Toraja yang termasuk dalam cultural tourism memerlukan perhatian berbagai pihak terutama pemerintah pusat dan daerah. Tanpa itu, Tana Toraja yang secara administratif dibagi menjadi 2 kabupaten yaitu Kabupaten Tana Toraja (dengan ibukota Makale) dan Kabupaten Toraja Utara (dengan ibukota Rantepao), akan tetap sulit kembali bangkit .
Tana Toraja dapat ditempuh kurang lebih delapan jam dari Makassar. Rute yang dapat ditempuh adalah Makasar > Maros > Pangkajene > Barru > Pare Pare > Sindereng > Enrekkang > Makale > Rantepao.
harus ada yang mulai memikirkan/peduli akan bangkitnya pariwisata te Tondok Lepongan Bulan..suatu potensi yang luar biasa jika kita mencoba menggunakan sisi kreatif kita untuk menggali lebih dalam.. Cuma sepertinya stagnan , apalagi pembangunan di Buntu Kuni yang sempat bermasalah ..mirissss ( maaf cuma bisa komen tidak bisa beri ide ,..saya juga stagnan :)))
sayang sekali penerbangan langsung ke tana toraja gak ada..paahal pengen banget ke sana. tp kl harus jalan darat dr makassar selama 8 jam…duh bisa kelamaan di jalan, ayo dong infrastrukturnya diperbaiki jd orang tertarik lagi kesana. kunjungan wisata meningkat dan rute penerbangan langsung kesana bisa dibuka..kapan bs ke toraja yaahh…
heee mana mungkin ada puya kalau puya ada mengapa harus diadakan acara kematian,untuk apa kok ada kerbau disembelih kedua yang saya bicarakan adalah kok bisa kan belum tentu kalau puya betul-betul ada tapi kalau benar-benar ada kan tergantug perbuatannya yang di dunia jadi kalau g ada upacara berarti masuk neraka y
Sangtoyaan yth,
Membaca judul artikel ini,”Menanti bangkitnya wisata kematian Tana Toraja”, sy teringat pada sebuah guyonan “hidup harus bersama-sama, tetapi mati harus sendiri-sendiri”.
Memang kematian bukan akhir dari segalanya. Namun harus disyukuri bahwa untunglah ada kematian sehingga ada kesempatan untuk hidup lebih leluasa. Jika tidak, maka kerja kita tiap hari adalah mengurusi jompo, kakek-nenek, dst yang tidak bisa apa-apa lagi.
Namun bermimpi bangkitnya kembali wisata kematian di Toraja, merupakan sebuah fatamorgana belaka. Tidak mungkin seindah dan sebermakna seperti dulu. Sudah penuh rekayasa dan modifikasi. Kaokkoran dan kebersamaan pudar pelan-pelan dan berganti menjadi mata ganti mata, tedong ganti tedong, bai ganti bai. Ketulusiklasan seperti dulu sudah tidak mungkin bangkit mempersatukan rumpun, kecuali sistem tongkonan dan kombongan ada’ direvitalisasi kembali menjadi basis dan modal dasar pembangunan daerah.
Mari kita diskusikan kemungkinan itu bisa menjadi kenyataan dengan syarat turis yang masuk ke Toraja harus “dipajak” dan wajib membayar retribusi daerah. Mereka datang mencuri kekayaan budaya kita yang tidak ternilai harganya.
Terima kasih,
frs