Antara Jakarta dan Bangkok

Me at Wat Arun2Ini bukan judul lagu baru. Juga bukan kelanjutan lagu ‘Antara Anyer dan Jakarta’-nya Odie Agam. Ini sekedar apa yang saya lihat (dan juga saya rasakan) saat ada di Bangkok dan membandingkannya dengan Jakarta. Baik Jakarta dan Bangkok menyandang sebagai sebuah ibu kota negara sekaligus sebagai pusat bisnis di negara masing-masing. Sama-sama berpenduduk sangat padat, sehingga kemacetan lalu-lintas ikut mewarnai sejarah kedua kota ini. Bangkok menjadi pusat turis sedangkan Jakarta masih harus berjuang untuk menjadi pusat turis selain Bali. Disamping penduduk memiliki wajah yang mirip-mirip dengan Indonesia, ternyata masih banyak yang bisa dibandingkan. Inilah diantaranya.

Suvarnabhumi Airport

Begitu mendarat di Suvarnabhumi International Airport, saya mendapati atmosfir bandara yang sedikit berbeda dengan Jakarta. Suvarnabhumi sendiri tampak megah dan modern. Namun tidak tampak arsitek khas Thailand, berbeda dengan Soekarno Hatta dan memiliki artisetur khas Indonesia. Ya karena bandara ini masih baru maka fasilitasnyapun juga sangat lengkap dan modern. Layanan imigrasi memiliki counter yang hampir sama yang ada di Jakarta, hanya saja mereka menyusunnya menjadi 2 lapis sehingga tidak terlalu banyak antrian. Mungkin juga memang saat saya tiba di Bangkok tidak banyak pesawat yang mendarat. Petugas imigrasipun masih khas dengan di belahan dunia manapun, berwajah kaku, tidak cukup ramah dan pelit senyum, tapi mereka bekerja cukup cepat. Mereka juga tidak terlalu banyak nanya, karena mungkin penguasaan bahasa Inggris-nya yang standar, jadi lebih banyak menggunakan sign language.

Seperti halnya bandara internasional lain, belt pengambilan bagasi tersedia cukup banyak, dan menurut saya penanganan bagasi disini relatif cepat, sehingga sayapun tidak perlu menunggu bagasi. Saya juga tidak melihat ada porter bagasi. Semua masih bisa ditangani sendiri sebab troley tersedia sangat banyak. Kalau di Jakarta bagian kedatangan tidak ada toko bebas bea, di Thailand kita masih bisa berbelanja di bagian ini, sama seperti yang ada di bagian kedatangan Sydney International Airport.

Lain lagi di bagian bea-cukai. Untuk jalur hijau (non-declare) mereka tidak ketat memeriksa barang bawaan, bahkan bagasi tidak perlu masuk x-ray detector. Sekali lagi, mungkin karena industri wisata di Thailand juga lagi mengalami penurunan, maka tidak cukup banyak antrian pada pemeriksaan bea-cukai ini. Kondisi Soekarno Hatta mungkin sedikit lebih sesak dan semrawut untuk bagian ini.

Nah, begitu melewati pintu keluar, kondisinya tidak jauh beda dengan Jakarta. Penjemput berderet-deret meskipun lebih rapi. Taxi booth terletak di lantai yang sama (lantai 4) dengan kedatangan, sementara jika menggunakan Airport Express maka harus turun satu lantai. Seperti halnya di Soekarno Hatta, ada surcharge 50 bath jika menggunakan taxi bandara. Anda sebenarnya bisa juga menggunakan taxi ‘liar’ tanpa surcharge, tapi banyak juga taxi yang tidak menggunakan meter. Bahkan taxi yang saya tumpangi tadinya sopir taxi tidak mau menggunakan meter, tapi setelah sedikit berdebat dengan bahasa Thinglish (Thai English) akhirnya mau juga menggunakan meter. Kondisi taxi bandara secara umum tidak lebih bagus dibandingkan di Soekarno Hatta, tapi taxi di tengah kota kondisinya jauh lebih baik. Pesan saya jika naik taxi bandara, pastikan bahwa supir menggunakan meter.

Untuk menuju kota, Anda akan melewati toll (disini mereka sebut highway) dengan tarif 35 baht. Karena tujuan saya adalah Sukhumvit saya harus masuk 1 highway lagi dengan tarif 45 baht. Sama seperti di Indonesia, gardu tol masih manual, dijaga manusia. Gerbang tolnya juga mirip-mirip yang ada di Indonesia. Dan seperti halnya di Indonesia, highway itu tidak terintegrasi jadi tidak bisa sekali bayar.

Wajah kota Bangkok

Kondisi Jakarta dan Bangkok sebenarnya mirip-mirip juga, kecuali Bangkok memiliki Sky Train (BTS) dan MRT. Untuk daerah daerah utama, jalan Sudirman Thamrin Jakarta jauh lebih bagus. Beberapa bus kota kondisinya juga sudah cukup tua. Dan ini yang membedakan Jakarta dan Bangkok, pengendara sepeda motor di Bangkok tidak cukup banyak, ini mungkin tersedianya angkutan massal yang bagus (BTS dan MRT). Di beberapa bagian saya juga melihat pedagang makanan dengan gerobak dorongnya, sama seperti di Indonesia. Meskipun sudah BTS & MRT kemacetan juga masih tampak di beberapa lokasi, ini mungkin karena jalanan di Bangkok memang tidak terlalu luas.

Siam ParagonBangkok sendiri cukup banyak dihuni gedung-gedung jangkung. Namun ternyata gedung paling jangkung di Bangkok masih kalah dengan Kempinski Residence di Jakarta. Secara umum gedung-gedung ini berarsitek lama, tidak seperti gedung-gedung di kawasan Sudirman & Thamrin Jakarta. Di dalam kota sudah sangat jarang ditemui rumah-rumah dengan hanya satu lantai, rata-rata berupa apartemen, rumah susun. Beberapa flat, ruko malah kelihatan kusam, terutama yang berada di sekitar jalur BTS. Pusat-pusat belanja (mall & plaza) secara umum tidak lebih bagus dibandingkan Jakarta. Saya hanya melihat Siam Paragon yang sekelas dengan Grand Indonesia, lainnya menurut saya biasa-biasa saja. Oh ya, pada beberapa mall pemakaian toilet juga harus bayar, tapi hanya 2 Baht (600 rupiah) seperti di MBK Center.

Di kawasan lama, masih terlihat pasar tradisional khas Asia. Ada pedagang ikan asin, sembako dan kondisinya juga tidak cukup bersih. Saya sempat keluar masuk di kawasan Lumphini melihat pasar tradisional ini. Dalam kondisi hujan pasar menjadi becek. Lapak-lapak pedagang ditutup plastik bening, mirip-mirip dengan kondisi pasar kita. Di kawasan ini (bukan sentra wisata), saya juga lihat ada pedagang dan pengamen di penyeberangan jalan, meskipun tidak banyak jumlahnya. Khusus pedagang buah, saya tertarik dengan cara mereka menata dagangannya, rambutan disusun seperti piramid.

Tak ada lagi bekas demo

Demo yang mengguncang Thailand beberapa waktu lalu, tidak berbekas sedikitpun. Tidak ada poster atau spanduk tersisa. Masyarakat kota besar semacam Bangkok sepertinya juga sudah apatis dengan politik, mungkin yang mereka mau krisis ekonomi segera pulih, dan turis kembali berduyun-duyun melancong ke Bangkok. Mereka sadar bahwa kekisruhan politik Thailand berpengaruh besar pada industri wisata, apalagi saat resesi global.

PKL ala Bangkok

PKL2Pengin tahu gaya PKL di Bangkok. Ternyata setali tiga uang dengan koleganya di Indonesia. Di sepanjang jalan Sukhumvit dan Silom dipadati dengan PKL dengan aneka rupa dagangan, mulai kaus, baju, celana, dasi, sapu tangan, souvenir, VCD/DVD. Pedagang ini menggelar lapak dengan membelakangi jalan, sehingga jalan-jalan ini tampak kumuh dan tidak teratur padahal 2 jalan itu masuk dalam jalan besar dan sentra turis. Pemandangan yang sama juga terjadi di Lumphini, malah disini lebih kumuh karena campur-baur dengan pedagang makanan. Pemkot Bangkok sebenarnya sudah menyediakan tempat buat PKL-PKL ini di beberapa tempat, tapi sepertinya tidak cukup juga. Meskipun banyak PKL saya tidak lihat ada pedagang asongan di perempatan jalan, juga pengamen jalanan.

Pedagang Buah Potong dan Onde-Onde

Ternyata di Bangkok juga ada pedagang buah potong dengan gerobak. Cara penyajiannya juga tidak begitu beda dengan di Indonesia. Disebelahnya, saya agak kaget saat melihat ada pedagang makanan mirip onde-onde. Penasaran seperti apa rasanya, saya beli 6 biji seharga 10 Baht, dan ternyata memang onde-onde. Saat saya tanya asal-muasal makanan ini, tukang onde-onde ala Bangkok ini hanya menjawab dengan bahasa Thai, saya sama sekali tidak tahu maksudnya. Coba juga kelapa muda Bangkok yang bentuknya lebih mungil dari yang biasa yang ada di Indonesia, enak lho.

2 respons untuk ‘Antara Jakarta dan Bangkok’

  1. Keren niy infonya. Btw koq kepikir yg unik2 mcm onde2. Kalo tempat pijat dimana tuh, koq gak ditulis.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s